BUC5GfM5GSOlGSC7GSC0TpG=

Halmahera Selatan di Simpang Jalan: Ketika Dana Desa Jadi Alat Perang Politik.

HalSel, NewsXpers.ID - Kabupaten Halmahera Selatan berada di titik genting sejarahnya. Di balik gegap gempita pesta demokrasi Pilkada 2024 Lalu, sebuah kisah kelam tengah bergulir diam-diam: dana desa yang semestinya untuk pembangunan rakyat, diduga kuat telah dijadikan bahan bakar politik oleh segelintir elite desa dan kecamatan.

Meski Mahkamah Konstitusi telah menolak gugatan hasil Pilkada, berbagai kesaksian dan temuan di lapangan membuka fakta yang jauh lebih mengerikan. Dana Desa yang cair sehari sebelum pencoblosan, diduga mengalir untuk mendanai mesin politik salah satu pasangan calon.

Di Desa Yaba, mencuat dugaan bahwa Penjabat Kepala Desa, Nurjana Lamengko, menggunakan Dana Desa sebagai pelumas politik pada hari pencoblosan, 27 November 2024. Nilainya tidak kecil — Rp110 juta — cair hanya sehari sebelum pemungutan suara.

Saksi mata menyebut dana tersebut digunakan untuk membuka posko dan dapur umum bagi tim sukses. Tak hanya itu, ada yang menyebut dana itu disulap jadi “amunisi” politik. Desa Yaba hanya satu dari sekian titik gelap. Jika ditelusuri lebih dalam, sejumlah desa lain menunjukkan pola serupa.

Keterlibatan oknum Koordinator Kecamatan Bacan Barat Utara, Delfia (ONA) makin memperkuat dugaan keterpaduan sistematis. Dalam kesaksian tak resmi disebuah penginapan, ONA dikabarkan membeberkan bahwa dana itu digunakan juga untuk persiapan hari pencoblosan.

Nama-nama lain muncul: oknum guru, camat, dan kepala desa lain yang diduga ikut menyetor atau mengatur aliran dana. Fakta ini menciptakan bayangan suram: sebuah struktur birokrasi yang telah dibajak oleh kepentingan politik dan balas budi.

Apa yang lebih mengerikan daripada kekuasaan yang dibeli dengan uang rakyat?

Alih-alih digunakan untuk memperbaiki jalan, mendukung petani, atau membangun pendidikan desa, dana tersebut digunakan untuk menciptakan “kemenangan artifisial” yang dipoles dengan logistik, mobilisasi, dan fasilitas dari uang rakyat.

Ketika kepala desa bermasalah tak tersentuh hukum, bukan karena mereka tak bersalah, melainkan karena mereka punya “jasa politik”, maka rakyat pun kehilangan pegangan.

Sementara masyarakat menuntut audit, pemerintah terkesan membisu. Tidak ada langkah audit investigatif dari pusat. BPK dan inspektorat daerah nyaris tak bergerak. Dana yang cair disebut-sebut untuk "gaji perangkat", namun jumlahnya tak masuk akal jika dibandingkan kebutuhan riil. Di mana kontrol? Siapa yang menjaga transparansi?

Kini Halmahera Selatan berada di persimpangan jalan sejarah: apakah akan terus terperosok dalam lumpur politik balas budi, atau memilih untuk menata ulang sistem dan kembali pada marwah demokrasi yang bersih?

Jika dana publik bisa dipakai untuk membeli suara, maka demokrasi tinggal nama. Jika pejabat desa bisa bebas bermain anggaran tanpa diaudit, maka rakyat tinggal menunggu kehancuran.

Halmahera Selatan tak butuh janji baru. Ia butuh keberanian untuk membongkar kebusukan di dalam  walau harus menyayat banyak nama besar yang bermain dalam gelap.

Pemerintah pusat tidak boleh tinggal diam. Kementerian Desa dan BPK RI harus segera membentuk tim investigasi independen untuk menelusuri setiap sen dana desa yang cair menjelang Pilkada. UU Desa, UU Keterbukaan Informasi, dan UU Tipikor harus ditegakkan tanpa tebang pilih.

Jika tidak, maka sejarah akan mencatat: Halmahera Selatan pernah disalib oleh pengkhianatan elite yang membakar harapan rakyat demi kursi kekuasaan.

“Kami tidak menolak hasil Pilkada. Tapi kami menolak demokrasi yang diperkosa dengan uang kami sendiri,” ujar salah satu warga Yaba, menahan amarah.


Redaksi – Investigasi Khusus

Comments0

Type above and press Enter to search.