BUC5GfM5GSOlGSC7GSC0TpG=

Dugaan Salah Tangkap M. Umar di Lampung Timur: Retaknya Keadilan, Pintu Menuju Pengadilan HAM Mulai Terbuka


Lampung, NewsXpers.Id - Di balik jeruji besi Rutan Sukadana, seorang pria bernama M. Umar menunggu keadilan yang tak kunjung datang. Ia bukan hanya menanti putusan pengadilan, tetapi juga menanti pengakuan bahwa dirinya adalah korban dari sistem hukum yang pincang. Kasus dugaan salah tangkap terhadap M. Umar telah menyulut gelombang reaksi publik, dan kini, sorotan tajam mengarah ke aparat penegak hukum Lampung Timur yang dinilai telah melakukan kesalahan fatal dalam penyelidikan dan penyidikan.

M. Umar, yang ditahan dalam kasus yang diselimuti berbagai kejanggalan, kini menjadi simbol perjuangan melawan ketidakadilan. Fakta-fakta di persidangan menunjukkan lemahnya dasar hukum atas dakwaan yang dilayangkan kepadanya. Ketua Sekretariat Bersama Wartawan Indonesia (SWI) Provinsi Lampung, Melanni, yang mengikuti langsung proses persidangan, menyampaikan kecaman keras terhadap kinerja aparat kepolisian dan kejaksaan.

"Dari hasil investigasi kami, ada 12 oknum penyidik Polres Lampung Timur yang patut diduga telah melakukan penyidikan secara serampangan, tidak profesional, bahkan berpotensi melanggar hukum," tegas Melanni. “Bukti-bukti yang diajukan ke pengadilan seharusnya tidak cukup kuat untuk menahan seseorang, apalagi melanjutkan perkara ini. Mengapa perkara ini terus dipaksakan berjalan?”

Keanehan demi keanehan terus bermunculan. Salah satunya terkait dakwaan jaksa yang menyebut nama lengkap terdakwa sebagai Muhammad Umar bin Abu Tholib, padahal identitas resmi M. Umar hanyalah M. Umar. Disparitas ini bukan hanya kesalahan administratif; dalam hukum, kesalahan identitas bisa menjadi dasar hukum yang cukup kuat untuk membatalkan dakwaan.

Ketidakcermatan tak berhenti di tangan penyidik. Pengadilan menolak eksepsi yang diajukan pihak pembela, dan muncul dugaan bahwa jaksa menerima berkas perkara tahap dua (P-21) tanpa telaah mendalam. Proses yang seharusnya menjadi filter terakhir malah diduga menjadi pintu masuk kelalaian hukum ke ruang sidang.

Melanni dan timnya tidak tinggal diam. “Kami akan membentuk dua tim: satu tim pemberitaan yang akan menggiring opini publik melalui media, dan satu tim investigasi yang akan mendalami aktor-aktor di balik kasus ini. Ini bukan sekadar kasus individual, ini cermin kebobrokan sistem,” tegasnya.

Di sisi lain, kuasa hukum M. Umar yang dikomandoi Moch. Ansory, juga bersiap melawan. Ansory yang juga Ketua Umum YAPERMA (Yayasan Amanat Perjuangan Rakyat Malang) menegaskan bahwa mereka akan membawa perkara ini ke Pengadilan Hak Asasi Manusia di Jakarta.

“Langkah kami jelas: menggunakan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Ini bukan hanya untuk membela klien kami, tapi juga untuk menuntut pertanggungjawaban negara atas praktik salah tangkap,” ujar Ansory. Ia juga memastikan bahwa gugatan terhadap kesalahan identitas dan penyalahgunaan wewenang akan masuk dalam berkas permohonan.

Dalam konteks hukum Indonesia, dasar untuk menuntut keadilan atas salah tangkap sebenarnya telah jelas. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap orang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah berhak mendapat ganti rugi dan rehabilitasi. Pasal 9 ayat (1) dan (2) menegaskan, jika ada pejabat negara yang melakukan kesalahan dalam proses penegakan hukum, maka mereka bisa dikenai sanksi pidana.

Ironisnya, regulasi ada, namun pelaksanaan sering kali tak berjalan seiring. Kasus M. Umar menjadi potret nyata dari deviasi antara hukum normatif dan realitas lapangan. Dalam negara hukum, kesalahan dalam satu langkah prosedural bisa menjatuhkan seluruh bangunan perkara. Namun dalam praktiknya, kesalahan itu justru kerap ditutupi dan dibenarkan.

Kini, sorotan publik tak hanya tertuju pada nasib M. Umar, tetapi juga pada kredibilitas lembaga-lembaga hukum yang terlibat. Jika kasus ini dibiarkan mengendap, maka bukan hanya satu nyawa yang dikorbankan, tapi juga kepercayaan publik terhadap hukum itu sendiri.

M. Umar bukan hanya memperjuangkan kebebasannya. Ia sedang menguji sejauh mana hukum di Indonesia berpihak kepada kebenaran. Dan kita semua—masyarakat, jurnalis, aktivis, dan penegak hukum—sedang menyaksikan, apakah keadilan akan menang, atau kembali dikalahkan oleh sistem yang lalai dan tak mau mengakui kesalahan.


(Redaksi)

Comments0

Type above and press Enter to search.