
NewsXPERS.ID | Sumatera Utara —
Kasus pembacokan terhadap Jaksa John Wesley Sinaga dari Kejaksaan Negeri Deli Serdang kini menelanjangi sisi paling gelap penegakan hukum di negeri ini.
Bukan sekadar cerita kriminal, tapi kisah tentang kesepakatan yang diingkari, tentang keadilan yang bisa dinegosiasi, dan tentang toga yang kehilangan maknanya.
Sosok jaksa yang semula dikasihani sebagai korban kekerasan kini justru disorot sebagai aktor pemerasan yang memicu ledakan dendam berdarah.
Awal Tragedi: Darah di Kebun Sawit, Rahasia di Baliknya
Tanggal 24 Mei 2025, dua sosok dari Kejari Deli Serdang—Jaksa John Wesley Sinaga dan stafnya Acensio Silvanov Huta Barat—ditemukan bersimbah darah di kebun kelapa sawit milik sang jaksa di Desa Perbaungan, Serdang Bedagai.
Polisi bergerak cepat. Kurang dari sepuluh jam, dua pelaku diamankan: Alpa Patria Lubis dan Suryadarma.
Namun penyelidikan yang semula berjalan lurus mendadak berubah arah.
Dari balik jeruji, muncul pengakuan mengejutkan yang mengguncang fondasi kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum.
“Kami Sudah Sepakat, Tapi Dia Ingkari” — Kesaksian yang Menghantam Integritas
Kuasa hukum Alpa Patria Lubis mengungkap, kliennya bukan sekadar pelaku kekerasan, tetapi korban dari janji hukum yang dikhianati oleh sang jaksa.
"Ada kesepakatan. Klien kami menyerahkan lebih dari Rp100 juta kepada Jaksa John Wesley pada tahun 2024 untuk meringankan tuntutan dalam tiga perkara hukum yang ia tangani. Tapi janji itu diingkari. Uang lenyap, hukuman tetap berat,”
tegas kuasa hukum Alpa kepada NewsXPERS.ID.
Kesepakatan yang seharusnya menjadi jalan “damai” justru menjadi api dendam yang berujung tragedi.
Dari sinilah publik mulai melihat bahwa pembacokan itu hanyalah puncak dari gunung es penyimpangan di balik toga.

Kejati Sumut Bungkam, Wajah Hukum Indonesia Tercoreng
Alih-alih menelusuri dugaan pemerasan dan pengingkaran kesepakatan itu, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) justru memilih bantahan keras tanpa pemeriksaan internal.
"Tuduhan itu tidak berdasar. Tidak ada laporan resmi, tidak ada bukti. Kami anggap itu alibi tersangka,”
ujar pejabat Kejati Sumut saat dikonfirmasi.
Sikap dingin dan reaktif ini membuat publik bertanya:
Apakah lembaga penegak hukum kini lebih sibuk menjaga wibawa lembaga daripada menjaga nilai keadilan?
Sementara di sisi lain, rakyat melihat kenyataan pahit — bahwa “kesepakatan” di ruang hukum bisa ditawar, dijual, bahkan dikhianati. Dan ketika keadilan bisa dinegosiasikan, maka kepercayaan publik terkubur bersama integritas para penegaknya.
Sidang Dimulai, Tapi Pertanyaan Tak Terjawab
Kasus pembacokan itu kini disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Namun bagi publik, sidang ini bukan sekadar soal siapa yang menyerang siapa —
melainkan tentang siapa yang lebih dulu mengkhianati hukum itu sendiri.
Apakah penyerangan ini benar semata tindak kriminal, atau justru ledakan akibat sistem yang busuk dan perjanjian yang dikhianati oleh penegak hukum sendiri?
Hukum Dijual, Keadilan Dipertaruhkan
Dalam catatan investigasi NewsXPERS.ID, kesepakatan seperti ini bukan hal baru.
“Transaksi diam-diam” antara oknum jaksa dan terdakwa telah lama menjadi rahasia terbuka di sejumlah daerah, di mana uang menjadi “pelumas” proses hukum yang seharusnya lurus.
Namun kali ini, permainan itu berakhir dengan darah dan luka — bukti nyata bahwa pengkhianatan dalam hukum selalu memakan korban.
Kesimpulan Redaksi: Luka di Balik Janji
Kasus John Wesley Sinaga bukan sekadar persoalan personal,
tetapi refleksi tentang bagaimana hukum bisa berubah menjadi komoditas.
Kesepakatan yang diingkari oleh seorang jaksa bukan hanya pengkhianatan terhadap individu, tetapi pengkhianatan terhadap cita-cita keadilan itu sendiri.
Jika lembaga hukum terus menutup mata, maka darah di kebun sawit itu akan menjadi simbol abadi dari hukum yang kehilangan moral, dan keadilan yang mati di tangan para penegaknya.
Redaksi NewsXPERS.ID
Laporan Khusus Investigatif — Mengupas Janji yang Dikhianati, Mengungkap Luka di Balik Toga Hukum
Comments0